Rabu, 13 Februari 2008
Langganan:
Postingan (Atom)
langkah langkah perubahan, kepastian
“Buat kami, orang lapar, makanan yang
diberikan kepada kami dengan tangan kanan
atau tangan kiri, tidak ada bedanya”
(Pak Samadikun, tukang becak dari kampung Jembatan,
seperti dikutip Soetandyo Wignjosoebroto)
Membaca Indonesia, akan identik dengan membaca sejarah perjuangan panjang pemuda dan mahasiswa, karena sejarah memang dibentuk oleh orang muda. Semenjak lahir embrio tentang kesadaran berkeindonesiaan, kaum muda selalu saja menjadi motor penggerak transformasi sosial. Jadi tidaklah fatal, jika kaum muda diidentikkan dengan perubahan sosial di Indonesia. Peran kesejarahan yang panjang telah menempatkan pemuda dan mahasiswa sebagai kelompok strategis yang memiliki daya dorong transformasi sosial yang signifikan. Pemuda dan mahasiswa dianggap sebagai salah satu ikon penting dalam perubahan sosial dan perkembangan sejarah masyarakat Indonesia. Karenanya, untuk belajar tentang peran pemuda dan mahasiswa kontemporer, perlulah kita untuk sejenak melongok tonggak-tonggak prestasi kaum muda di masa yang lampau. Sejak awal, peran dan fungsi kaum muda memang sangatlah kompleks, mulai dari pengusiaran kaum imperealis, penggulingan rezim despotis otoriter, upaya dekonstruksi formasi sosial masyarakat, hingga menjadi kekuatan paling strategis sebagai motor penggerak dalam melakukan perlawanan terhadap kejahatan-kejahatan kemanusiaan kontemporer, yang menggunakan kedok globalisasi neoliberalisme.
Mungkin sedikit berkilas balik dan bernostalgia tentang romantisme perjuangan kaum muda Indonesia di masa yang lampau. Berakhirnya tanam paksa (cultuur stelsel) telah mengilhami lahirnya politik etis, yang niatan awalnya adalah sebagai bentuk balas jasa pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat Indonesia, atas berbagai macam kekayaan alam bumi Indonesia yang telah dikeruk Belanda. Kaum liberal Belanda yang diwakili oleh Van Deventer mengusulkan program praksis politik dari kebijakan politik etis, yakni trias politica Van Deventer, yang terdiri dari irigasi, emigrasi dan edukasi. Edukasi merupakan bagian politik etis yang mendorong lahirnya sekolah modern di Hindia Belanda, tahun 1902 berdiri Sekolah Dokter Bumiputera (STOVIA). Dari sinilah kemudian lahir lapisan sosial terpelajar dalam masyarakat pribumi. Salah satu pelopor gerakan di masa itu adalah dr. Wahidin Sudhirohusodo, pemimpin majalah “Retnodumilah.” Wahidin berpendapat bahwa kemajuan akan tercapai dengan ilmu pengetahuan barat lewat pendidikan, dengan tanpa meninggalkan warisan Jawa. Tahun 1907 di Jakarta dia bertemu mahasiswa STOVIA dan mendirikan perkumpulan pemuda Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Budi Utomo menjadi titik awal lahirnya gerakan kepemudaan yang sifatnya modern dan mengarah pada persatuan nasional, walaupun latar belakangnya masih Jawa sentris. BU menjadi generasi pendobrak bagi perjuangan pemuda Indonesia. Dengan lahirnya Budi Utomo kemudian muncul berbagai macam organisasi kepemudaan yang sifatnya modern, dan mempunyai tujuan politik secara tegas, yaitu melawan imperialisme kolonialisme.
Setelah berjalan dua puluh tahun, beraneka ragam organisasi kepemudaan yang ada di bumi Nusantara—Jong Java, Jong Sumatra, Jong Cilebes, Pemuda Sekar Rukun, Jong Ambon, Jong Borneo, dll—mulai terketuk pintu hatinya untuk mengikatkan diri pada cita-cita luhur, membangun persatuan nasional Indonesia. Sehingga terselenggaralah Kongres Pemuda Indonesia I tahun 1927, dan kemudian dilanjutkan dengan Konges Pemuda Indonesia II pada 1928. Kongres Pemuda II menghasilkan Sumpah Pemuda Indonesia, yang didalamnya menyatakan bahwa Pemuda Indonesia adalah bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu, INDONESIA. Sumpah Pemuda menegaskan cita-cita perjuangan pemuda Indonesia, menuju Indonesia merdeka. Pascalahir Sumpah Pemuda, yang menjadi penegas perjuangan berkeindonesiaan, organ-organ kepemudaan yang memiliki watak kenasionalan pun lahir melebihi cendawan di musim hujan. Organ-organ yang didominasi oleh pemuda mahasiswa ini mencoba untuk memberikan andil dengan cara mereka sendiri-sendiri dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Meski berangkat dari ideologi yang berbeda, masing-masing gerakan kepemudaan ini memiliki tekad bulat yang sama, hilangnya penindasan dan lahirnya sebuah masyarakat baru, masyarakat Indoneisa yang bebas merdeka.
Belum mendapat hasil sesuai dengan apa yang diharapkan, penjajahan Jepang sudah keduluan masuk ke Indonesia. Pada masa Jepang, hampir seluruh gerakan pemuda dan mahasiswa dibubarkan. Kaum muda diwajibkan untuk terlibat secara aktif dalam wadah-wadah kemiliteran, seperti PETA, HEIHO, dll, yang menjadi kekuatan strategis dalam perang Asia Timur Raya. Meskipun demikian masih terdapat organ-organ pemuda di bawah tanah, yang konon katanya dipelopori oleh Sutan Syahrir, dan beberapa aktivis kiri Indonesia waktu itu, yang terus melakukan perlawanan terhadap Jepang. Tak ingin kehilangan moment, ketika mendengar Jepang kalah perang, para pemuda, khususnya para aktivis kiri, segera mendesak golongan tua kelompok Soekarno untuk segara memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Masa demokrasi liberal pascaindonesia merdeka, organ-organ kemahasiswaan segera tumbuh massifnya, seiring dengan menguatnya kesadaran berideologi dan semangat untuk mempercepat jalannya revolusi Indonesia. Organ kepemudaan dan kemahsiswaan menjadi underbow partai politik yang mewadahi basis ideology yang diperjuangkannya. HMI menjadi bagian dari MASYUMI, GMNI menjadi bagian dari PNI, GERMASOS menjadi bagian PSI, CGMI bersahabat dengan PKI, dll. Meski tiap organ kemahasiswaan memiliki afiliasi partai politik yang berbeda-beda, namun pada masa itu persatuan perjuangan untuk menuntaskan revolusi Indonesia bisa tetap terjaga. Lalu di mana PMII? Kelompok Islam pada waktu itu bersatu dalam naungan MASYUMI, baik kelompok tradisional maupun modernis. Kelompok mahaiswa Islam tradisionalis—NU—pun masih bernaung di HMI, meski didominasi oleh kalangan Islam modernis. Pascakeluarnya NU dari MASYUMI, menjelang pemilu 1955 dan bertambah banyaknya mahasiswa dari kalangan Islam tradisionlis, membulatkan tekad tokoh-tokoh gerakan mahasiswa yang berasal dari NU, meski masih berada di HMI, untuk segera membuat wadah perjuangan sendiri, hingga pada 17 April 1960 lahirlah PMII.
Pertarungan akhirnya semakin memanas, setelah ketegangan antara militer dan Soekarno memuncak. Setidaknya pascadekrit persiden 5 Juli 1959, hubungan antar partai politik sudah tidak sehat lagi. Hal ini pun berimbas pada organ-organ kemahasiswaan yang menjadi underbownya. Mereka mulai saling menjegal dan menjatuhkan, meski sebenarnya—menurut beberapa sumber—militerlah dalang dari semua parahara itu. Puncak dari segala pertarungan adalah ketika meletup peristiwa kudeta berdarah 1965, entah siapa dibalik tragedi itu, yang pasti perubahan besar terjadi di Indonesia pasca itu. Soekarno jatuh, dan rezim militer naik ke puncak kekuasaan. Gerakan mahasiswa berandil besar dalam peristiwa ini. Awal Orde Baru, gerakan mahasiswa masih bisa bergerak bebas, terbukti munculnya peristiwa Malari 1974. Namun, akhirnya gerakan mahasiswa menerima pukulan telak dari rezim neo fasis militer Soeharto. Mahaiswa dikandangkan dengan NKK/BKK, hingga tak bisa lagi beraktivitas politik lebih jauh lagi, siapaun yang mencoba berbicara vocal akan terkeni repersi aparat. Puncaknya ialah ketika terjadi peristiwa 1998. gerakan mahasiswa pada saatnya mampu menumbangkan rezim despotis militer Soeharto, yang telah berkuasa 32 tahun, pada 21 Mei 1998. Benarkah gerakan mahasiswa kehilangan arah perjuangan, pascatumbangnya Soeharto, yang menandai dimulainya proyek redemokratisasi Indonesia?
Belajar dari sejarah panjang perjuangan, di mana pemuda dan mahaiswa selalu berandil besar dalam setiap moment-moment besar perjuangan bangsa Indonesia. Setidaknya, peristiwa 1928, 1945, 1966, 1974 dan peristiwa 1998 adalah merupakan keberhasilan emas perjuangan pemuda Indoensia. Kini, ketika arus pusaran kapitalisme mulai mengglobal, dengan semangat neoliberalismenya, yang berusaha untuk meruntuhkan tembok besar nasionalisme, pemuda Indonesia kembali ditantang untuk turun pada medan pertarungan. Virus globalisasi yang disemaikan oleh agen-agen neoliberal, bagaimanapun telah melahirkan gerakan emoh negara. Parahnya, sasaran utama gerakan ini adalah mereka para pemuda, yang sebagain besar memandang bahwa global itu adalah lebih baik daripada berkutat dalam sebuah ranah lokalitas yang sempit. Akibatnya, jiwa nasionalisme pemuda Indonesia, yang secara susah payah dibangun oleh para founding fathers negeri ini, mulai digerogoti dan terkikis sedikit demi sedikit oleh virus globalisasi, yang sifatnya lebih endemik daripada flu burung. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah, bagaimana bangsa Indonesia bisa bangkit, dan menjadi bangsa yang besar? Ketika semangat nasionalisme dan perjuangan pemuda mahasiswa sudah tak ada lagi, mereka lebih berpikir untuk kepentingan diri pribadi masing-masing, tidak lagi memiliki semangat kebersamaan dan kesadaran berpergerakan untuk memikirkan dan merubah nasib massa rakyat banyak.
Oleh karenanya, sekarang adalah sudah saatnya, bagi kita pemuda Indonesia, untuk kembali berkaca dan mengambil serpihan-serpihan warisan sejarah perjuangn kaum muda terdahulu, yang telah terkoyak-koyak. Dahulu, ketika transportasi masih sulit, komunikasi belum secanggih sekarang, mereka pemuda Indonesia di masa itu, telah memiliki semangat kebersamaan yang luar biasa. Mereka bersatu padu membangun persatuan nasional, guna melawan imperialisme yang telah menindas seluruh elemen bangsa Indonesia. Saat ini, ketika tiap hari kita dimanja oleh kecanggihan teknologi, yang memungkinkan kita para pemuda Indonesia untuk berkomunikasi intens tiap hari, mengapa malah semangat kebersamaan itu menjadi semakin terpecah-pecah? Padahal, sekarang kita juga memiliki musuh bersama (common enemy), yang tidak bisa dihadapi sendiri-sendiri. Perlu kebersamaan untuk menangkal badai besar globalisasi dan neoliberalisme, sebagai wujud nyata dari neo-imperilisme. Neoliberlisme telah melumpuhkan sendi-sendi bangsa Indonesia sedikit demi sedikit, yang akibatnya lebih berbahaya dibandingkan dengan imperialisme di masa yang lalu.
Pemuda dan mahasiswa harus segera mengambil peran, tidak terus-menerus terhegemoni oleh kaum tua, yang semangatnya telah melemah. Sejarah mengajarkan kepada kita semua, untuk menempatkan pemuda pada garda depan perjuangan bangsa. Pemuda harus menjadi pelopor bagi setiap proses transformasi bangsa Indonesia. Adalah salah ketika kita para pemuda senantiasa menunggu dawuh dari mereka kaum-kaum tua, karena sejarah kaum muda tidak lahir dari pesanan kaum-kaum tua, melainkan lahir dari semangat kebersamaan dan kesdaran berpergerakan pemuda dan mahasiswa Indonesia. Sekarang, ketika musuh bersama telah nyata di depan mata, maka sudah waktunya bagi seluruh pemuda dan mahasiswa Indonesia untuk membumikan kembali semangat kebersamaan dan kesadaran bergerakan, yang telah lama terkoyak-koyak. Kaum muda harus menjadi ujung tombak perubahan, bahu-membahu melawan neo-imperialisme, untuk merebut makna perjuangan, dan membuat sejarah sendiri, guna menuju kebangkitan nasional yang sesungguhnya dan mencapai cita-cita luhur bangsa.(*)